contoh pupuh pangkur

Pupuh adalah bentuk puisi Sunda yang memiliki aturan atau patokan yang sudah pasti. Terdapat sebanyak 17 jenis pupuh yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaritu kelompok yang disebut Sekar Ageung dan Sekar Alit. Dalam Sekar Ageung, terdapat empat jenis pupuh. Sedangkan dalam Sekar Alit terdapat 13 jenis pupuh.
Sekar Ageung adalah jenis pupuh yang biasa dinyanyikan atau ditembangkan menggunakan lebih dari satu jenis lagu atau tembang. Sedangkan Sekar Alit adalah jenis pupuh yang biasa dinyanyikan menggunakan satu jenis lagu atau tembang saja. Karena pupuh biasa dinyanyikan atau ditembangkan, pupuh sering juga disebut sebagai tembang.
Puisi Sunda yang biasa menggunakan patokan yang ada pada pupuh adalah seperti wawacan dan guguritan. Wawacan lebih sering menggunakan jenis pupuh yang ada dalam kelompok Sekar Ageung. Sedangkan guguritan biasa menggunakan jenis pupuh yang ada dalam Sekar Ageung dan Sekar Alit.
Pupuh terikat oleh aturan yang dalam bahasa Sunda disebut dengan istilah "guru lagu" dan "guru wilangan". Penjelasan secara singkat, guru lagu adalah aturan yang terkait dengan suara suku kata akhir dari kata terakhir yang ada dalam tiap baris pupuh. Sedangkan guru wilangan adalah aturan yang terkait dengan jumlah suku kata yang ada dalam tiap baris dan jumlah baris yang ada dalam tiap bait pupuh.
Guru lagu dan guru wilangan pupuh pangkur adalah 8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i. Sedangkan watak atau karakteristik yang ada dalam pupuh pangkur adalam menggambarkan rasa marah yang tersimpan dalam hati atau menghadapi tugas yang berat. Di bawah ini adalah contoh pupuh pangkur :
Lamun maneh boga rasa (8-a)
peupeujeuh ulah nganyerikeun ati (11-i)
pedah kuring teu satuju (8-u)
ka maneh anu maksa (7-a)
maksakeun sagala cara nu teu luyu (12-u)
teu luyu jeung barerea (8-a)
hirup mah kudu tarapti (8-i)


LihatTutupKomentar